Ratu Ida Pedanda Gede Buruan Manuaba

Siwakarana di Griya Tanpa Penerus

Di dalam suatu rumah tangga bisa saja terjadi keanehan, karena ada hal-hal yang memerlukan perhatian secara sekala dan niskala. Seperti Siwakarana yang berada di Griya Gede Punggul Manuaba, Banjar Kelodan, Punggul, Abiansemal, Badung, memerlukan penerus, yang konon sejak dulu leluhurnya adalah Peranda dengan bukti masih ada Siwakarana. Walaupun benda tersebut berada di griya lain tapi masih kerabat.

Jika menengok perjalanan Peranda yang satu ini, ternyata sangat unik. Apa keunikannya? Pasalnya, bukan karena takut dan bukan karena tidak mau malinggih. Tapi melihat kondisi tidak memungkinkan, ada niat menyuruh adik saja yang madiksa.
“Waktu itu, karena kondisi masih sedang sibuk mengemban tugas-tugas penting, demi kepentingan orang banyak, tiang tidak bisa malinggih, untuk itu, tiang suruh adik saja madiksa,” tutur Ida Bagus Gede Putra, A.Ma.Pd yang kini mabhiseka Ratu Ida Pedanda Gede Buruan Manuaba.
Guna mempersiapkan padiksan atas permintaan umat atau sisya, sampai mengkhursuskan adik agar mempunyai bekal, setidak-tidaknya ilmu agama untuk menjadi sulinggih. “Adik tiang titipkan di Griya Suksuk, Banjar Lambing, Sibang Kaja, Abiansemal, Badung. Ternyata, sampai lima tahun mendapatkan bimbingan atau tuntunan untuk persiapan malinggih, bagaikan seorang murid yang tidak naik-naik kelas. Selama mengikuti bimbingan ajaran agama, tidak ada perkembangan yang berarti. Sampai lima tahun lamanya, bayangkan, sementara adik tiang pun tidak keberatan untuk didiksa,” ujar Peranda dua anak ini dengan heran.
Selanjutnya, lanjut Peranda kelahiran 1950 ini, di griya juga terjadi situasi yang kurang mendukung. Ada saja anggota keluarga kesakitan, atau hal-hal yang tidak diinginkan. Begitu juga Ratu Peranda yang beristrikan Ida I Dewa Agung Istri Agung Manuaba tidak luput dari sakit. Setiap sakit dilakukan mapaluasan atau nunas baos.
Apa yang terjadi? Setiap mapaluasan ternyata yang kelihatan adalah siwakarana yang ada di griya. Siwakarana kini ada di griya lain yang tidak jauh dari griya aslinya. Begitu seterusnya, urai Peranda, setiap mapaluasan, hanya siwakarana yang kelihatan di baos baas. Sayangnya, siwakarana yang ada di griya lain, tidak pernah diminta kembali. “Malu rasanya meminta siwakarana tersebut,” aku Peranda berpenampilan tenang ini.
Dengan kondisi keluarga yang kurang harmonis, bahkan terjadi kecelakaan, ada dorongan dari seorang Peranda yang memang ada hubungan keluarga. Kebetulan Peranda Bang Buruan Manuaba dari Griya Swarga Bang Kerobokan, Kuta Utara, Badung sering datang. Beliaulah yang memberikan dorongan untuk malinggih. Di satu isi, griya ini juga milik Peranda Bang Manuaba dari Kerobokan. Sebelum mendapat dorongan Peranda Bang dari Kerobokan yang sekaligus Peranda nabe, juga atas dorongan umat atau sisya yang jumlahnya cukup banyak.
Entah sudah titah atau pituduh Hyang Widhi, Peranda boleh dikatakan sifatnya mendadak untuk malinggih. Seperti dikatakan tadi, karena berbagai godaan menimpa griya dan keluarga. Kebetulan waktu itu, Peranda sakit di bagian pala, ketika tangkil ke Peranda Nabe, kedua tangan Peranda diambil oleh dukun istri. Ketika dibaca garis tangan Peranda yang sebelah kanan, sangat mengejutkan, dikatakan Peranda dengan pendidikan terakhir D2 Pendidikan, akan cepat madiksa. Padahal balian tersebut tidak pernah mengenal Peranda. Sedangkan Peranda pun tidak menyangka hal itu.
Dari goresan garis tangan itulah, Peranda baru sadar akan menjadi Peranda walaupun awalnya tidak menyangka. Dengan garis tangan yang sudah dibaca sang dukun, selanjutnya Peranda disuruh ke Jawa. Mencari tempat yang namanya Petamanan Gajah Mada yang berada di Purwokerto (Trowulan), Jawa Timur. Di sana Peranda disuruh mandi.
Sebelumnya, Peranda merasa keberatan, karena tidak berani melakukan perjalanan dengan mobil. “Jangankan ke Jawa, dari griya ke Gianyar saja Peranda muntah-muntah,” papar Peranda yang tinggal di Punggul, Abiansemal ini.
Karena desakan, terpaksa diikuti petunjuk dukun. Anehnya, begitu perjalanan jauh, tidak terjadi apa-apa. Badan sehat walafiat tidak kesakitan. Ini terjadi suatu keanehan. Sama sekali tidak pernah muntah.
Setelah melakukan berbagai persyaratan, dibentuklah panitia padiksan. Namun, di dalam pembentukan panitia, lagi-lagi ada sedikit hambatan. Pihak panitia memasalahkan adanya Peranda Istri yang tidak satu soroh (karena Peranda Istri adalah seorang Dewa-red). Menurut tradisi, istri Peranda menjadi ganjalan.
Syukur kendala ini dirapatkan atau dimintakan pertimbangan kepada Peranda Nabe. Peranda Nabe tidak memasalahakan, masalah beda istri tidak menjadi masalah. Peranda Nabe memberikan restu untuk madiksa. Peranda Bang Buruan Manuaba memang dikenal Peranda universal, disegani umat, dan berwawasan luas. Syukur Peranda Nabe mampu memberikan pemahaman kepada panitia. Panitia pun akhirnya memberikan restu untuk melanjutkan melakukan upacara padiksan.


Griya Gede Punggul Manuaba
Nabe Mapica Siwakarana Lengkap

Sekadar diketahui, suasana griya sangat sejuk. Karena kondisi pedesaan masih terasa sunyi dan nyaman. Kendaraan tidak begitu membisingkan Desa Punggul. Pekarangan griya sangat luas. Maklum, dahulu di griya adalah tokoh penting. Hanya griya ini yang lahannya paling luas.
Griya pun banyak dinaungi tanaman menambah suasana sejuk. Suasana tenang sangat terasa. Tempat parkir pun cukup luas. Sewaktu persiapan madiksa, Peranda waktu walaka sempat tangkil ke griya membicarakan padiksan. Rencana upacara sebenarnya sasih kapat. Berhubung belum siap dana.
Ketika tangkil ke griya Nabe, persiapan masih jauh. Sarana lainnya juga belum siap. “Pokoknya di griya belum siap materi maupun dana. Karenanya, acara disiapkan mengambil dewasa di sasih kapat,” tegas Peranda dengan mimik serius.
Anehnya, Peranda waktu itu keceplosan. Dewasa ayu direncanakan sasih Kapat, Peranda mengatakan sudah siap sasih Kadasa. Dengan keceplosan bibir Peranda, semua panitia menjadi kaget bukan kepalang. “Lho, kok Peranda berani merencanakan sasih Kadasa, khan sudah dekat, sedangkan persiapan belum ada,” ungkap Peranda menyitir pembicaraan panitia.
Mungkin Peranda tidak sadar dengan ucapan mempercepat rencana upacara. “Mungkin itu sudah pituduh Hyang Widhi,” kata Peranda beralasan. Kendati belum siap sarana dan dana, ternyata Tuhan memberikan jalan. Siwakarana yang belum ada, sudah disiapkan Peranda Nabe. Semua kebutuhan upacara, siwakarana diberikan oleh Peranda Nabe. Sehingga upacara madiksa menjadi lancar. Upacara padiksan pun dilaksanakan tanggal 21 Maret 2008. Tidak ada halangan yang berarti. Walaupun nabe hanya Peranda Bang dari Kerobokan, Badung bersama Istri. Karena persiapan sangat singkat dan belum ada dana.
Peranda kini merasa plong setelah malinggih. Suasana griya semakin nyaman dan tenang. Karena Siwakarana sudah ada yang meneruskan. Walaupun siwakarana milik leluhurnya berada di griya lain. Semua terjadi serba kilat, termasuk Peranda pun tidak menyangka akan malinggih. 8


Reporter : Putu Patra
Foto : Putu Patra




Bhiseka : Ratu Ida Pedanda Gede Buruan Manuaba
Nama Walaka : Ida Bagus Gede Putra, A.Ma.Pd.
Kelahiran : Punggul 27 Pebroari 1950
Sulinggih Istri : Ida I Dewa Agung Istri Agung Manuaba.
Pendidikan Terakhir : D. II Pendidikan
Jumlah Anak : 2 (dua)
Madiksa : 21 Maret 2008
Nabe : Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba
Alamat Griya : Griya Gede Punggul Manuaba, Banjar Kelodan, Punggul, Abiansemal, Badung.

Ida Pedanda Istri Raka Kelaci
Demi Pengabdian Ngajag Denpasar-Singaraja

Tidak mudah menemukan sosok Peranda Istri Kelaci, hanya ingin mengabdi di dunia pendidikan dan demi anak-anak TK, rela ngajag dari Denpasar-Singaraja. Padahal gaji sebagai PNS waktu itu tidak mencukupi, yang hanya 70 ribu rupiah. Itulah pengabdian yang tidak bisa diukur dengan materi.

Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi Ida Pedanda Istri Raka Kelaci dengan nama walaka Ida Ayu Kade Sindhu. Saat walaka, dengan mengantongi ijazah SPG TK mengawali kariernya sebagai guru di sebuah Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Negeri Singaraja. Sebuah perjuangan dan ketulusan yang tidak dapat diukur dengan materi. Bagaimana tidak, setiap hari bolak-balik Denpasar-Singaraja.
“Tiang jam lima pagi sudah berangkat naik angkutan umum menuju Singaraja. TK Negeri Singaraja merupakan satu-satunya TK dengan status negeri saat itu di Bali. Ngajag karena tanggung jawab dengan keluarga, saat itu anak masih kecil-kecil jadi setelah selesai mengajar langsung pulang ke Denpasar,” ungkap Ratu Istri mengenang kejadian 34 tahun silam.
Jam 11 siang kegiatan di sekolah TK telah berakhir, waktu pulang terasa lebih cepat ketimbang berangkat. Melelahkan memang setiap hari berangkat pagi-pagi dan tidak lama kemudian sudah kembali ke Denpasar. Lelahnya terasa dalam perjalanan namun ketika sampai di sekolah, semangat baru mengiringi hari-harinya sebagai seorang pendidik.
Apa yang memacu Ratu Peranda Istri sehingga bisa menjalani hal tersebut apalagi waktu itu untuk golongan 2 gajinya hanya 70 ribu rupiah perbulan. Untuk uang bemo saja sudah habis. Namun demikian menurutnya saat itu menjadi pegawai negeri merupakan hal yang sangat diminati orang-orang, pensiunan yang menjanjikan serta makna pendidikan yang memang lekat dalam jiwanya.
Bukan hal yang mudah untuk menyelami dunia anak-anak, namun akan menyenangkan ketika mengetahui celah untuk memasukinya. “Dulu TK merupakan program pendidikan usia dini, anak-anak belum diajarkan menulis dan membaca. Sebagai taman bermain, mereka diberikan pengenalan terhadap warna-warna, bentuk, diajarkan makan bersama. Dibentuk sifat dasarnya, mengenai budi pekerti karena akan menjadi pendidikan awal sebelum menginjak penididkan selanjutnya,” jelas Ratu Pedanda Istri.
Taman kanak-kanak akan menjadi masa yang indah bagi anak-anak. “Kita selalu bermain-main dengan anak-anak. Dalam penulisan raportnya pun kita tidak memakai nilai, tetapi dengan kata-kata yang akan memacu semangatnya,” tambah Perandi kelahiran 28 Agustus 1938 ini.
Menjadi guru TK sangat berkesan bagi sulinggih yang selalu terlihat ramah ini, pasalnya dengan menjadi guru TK berarti dekat dengan orangtua anak-anak. Perkembangan anak serta permasalahannya di sekolah dengan teman-teman atau dalam mengikuti kegiatan di sekolah bisa langsung dibicarakan. Terjadi hubungan yang baik antara guru dengan orang tua anak-anak. Tidak sampai tahun kurang lebih tahun 1975 statusnya pindah ke Kanwil P&K, dari guru pindah ke pegawai negeri ditempatkan di bidang Pendidikan Dasar dan Guru.
Setelah menjalani masa walaka dan pensiun dari Kepala Bidang Kesenian, atas kesepakatan keluarga besar Drs. Ida Bagus Raka nama walaka suami Ida Pedanda Istri Raka Kelaci sepakat untuk masuci (madwijati). Saat itu tiang belum pensiun, sehingga masih statusnya bekerja tetapi tidak ke kantor karena tidak diijinkan pensiun muda. Tentunya tiang ngiring Ratu Lanang, tidak kerja tetapi dapat gaji, jadinya makan gaji buta,” ungkap Ratu Istri seraya tersenyum.
Griya yang telah lama vakum kurang lebih 15 tahun akhirnya kembali besinar dengan kehadiran sosok sulinggih di Griya Braban Denpasar. Bertepatan dengan Wrespati Pon, Landep, 21 Maret 1991 dilaksanakan upacara padiksaan Ida Bagus Raka dan Ida Ayu Kade Sindhu dengan bhiseka Ida Pedanda Raka Gede Kelaci dan Ida Pedanda Istri Raka Kelaci.
“Setelah mabersih, tiang benar-benar lepas dari rutinitas saat masih walaka. Termasuk baju-baju saat walaka tidak lagi digunakan bahkan arsip-arsip surat sama sekali tidak ada yang tiang perhatikan. Lepaslah sudah, kehidupan baru sebagai seorang wiku tiang jalani mendampingi Ratu Lanang,” ungkap Ratu Istri .

Griya Braban, Denpasar
Kehilangan Batu Pijakan

Memang kuasa Tuhan setelah 14 tahun mengabdi untuk masyarakat, Ida Pedanda Lanang lebar. Berdasarkan pilihan griya Ratu Istri dipilih untuk melanjutkan tugas Ratu Pedanda Lanang melayani masyarakat. Baru mulai belajar mapuja dan bisa muput karya. “Sebelumnya Ratu Lanang lunga, tiang di griya manten sira uning wenten nak tangkil mangda ten suung ring griya,” ungkapnya. Ditinggalkan Ratu Lanang berarti tanggung jawab bertambah. Di sinilah menjadi pembuktian kemampuan yang dimiliki oleh Ida Pedanda Istri.
“Sisya akeh, dumun Ida nak manying maklum anak tunggal. Walaupun sudah menjadi sulinggih namun manusia juga masih ada sifat yang memang bawaan tidak bisa dilepas. Justru setelah ditinggal Ratu Lanang, Ida menjadi semakin kuat dan mampu berbuat lebih. Jika dulu Ida sakit flue saja ada yang ngayahin tetapi sekarang semuanya harus sendiri. Pagi-pagi nyurya srawana sendiri, mau tidak mau harus tetap dijalankan. Karena rasa tanggungjawab malah Ida mampu melakukan bahkan sangat jarang sakit. Istilahnya saat inilah keluar kekuatan Ida yang dulu tidak keluar karena nyaman ada yang mendampingi,” tutur Gus Bintana.
Sosok Ratu Peranda Istri Raka Kelaci di mata anaknya merupakan seorang ibu yang mengutamakan pendidikan. “Keberhasilannya dalam mendidik anak-anak menjadi orang. Tiang kanggoange ring kawentenan tiange. Sejak tahun 1991 secara status keseharian anggaplah tidak lagi mempunyai aji ibu. Begitu orang tua mabersih, berarti telah lepas dari kehidupan duniawi. Konsep seorang sulinggih mengabdi pada masyarakat tidak terkait dengan imbalan. Situasi yang sangat berat, karena sejak kecil telah dididik kemudian dilepas sehingga bisa menggantikan orang tua untuk menjaga adik-adik. Apalagi mengubah status, mulai dari memanggil ibu aji menjadi ratu. Ini sangat sulit. Lama tiang tidak berani hadir di hadapannya karena perubahan-perubahan tersebut. Namun kini menjadi pengabih Ratu Peranda,” jelas Ida Bagus Putu Bintana, anak sulung Ratu Peranda Istri Raka Kelaci.



Parindikan Sulinggih
Ida Pedanda Istri Raka Kelaci
Nama Walaka : Ida Ayu Kade Sindhu
Tempat tgl. lahir : Griya Sangging Wanasari, Tabanan, 28 Agustus 1938
Alamat Griya : Griya Braban, Denpasar.
Riwayat Pendidikan : SPG TK tahun 1974
Riwayat Pendidikan : Guru TK di TK Negeri, Singaraja, Kanwil P&K.
Suami : Ida Pedanda Raka Gede Kelaci (alm)
Nama walaka : Drs. Ida Bagus Raka
Riwayat Pekerjaan : Kepala Bidang Kesenian
Didiksa : Wrespati Pn Landep, 21 Maret 1991
Nabe : Ida Pedanda Gede Putra Timbul
Alamat Nabe : Griya Puseh Timbul, Intaran, Sanur.

Ida Pandita Mpu Dhaksa Dharma Tenaya

Dengan Motor Tua Jelajahi Ratusan Desa

Tak kenal lelah memberikan pembinaan kepada umat, itulah yang dilakukan Ida Bhawati I Gede Suwetha sebagai seorang Bhawati tak malu-malu dengan motor tuanya melaju ke desa-desa. Sampai ratusan desa disanggongnya untuk memberikan pencerahan kepada umat.
Dengan penuh keramahan kedatangan TBA disambut di griya Ida Pandita Mpu Dhaksa Dharma Tenaya. Suasana akrab meliputi obrolan ringan seputar padiksan Ida Pandita yang baru saja berlalu. Berlanjut mengenang kerasnya perjuangan hidup hingga ia bisa seperti saat ini, sukses membesarkan keempat anaknya dan melanjutkan pada tingkatan penyucian diri sesuai dengan ajaran Catur Asrama.

Tidak tertutup kemungkinan bagi anak seorang petani sekali pun untuk mengecap pendidikan hingga meraih cita-cita memiliki kehidupan yang lebih baik dalam segala hal. Dengan penuh kerendahan hati Ida Pandita Mpu Dhaksa Dharma Tenaya dengan nama walaka I Gede Suwetha mengisahkan perjalanan hidupnya hingga menjadi seorang sulinggih.

“Tiang hanya anak seorang petani. Bukan petani yang memiliki sawah sendiri, tetapi hanya petani penggarap. Dengan penuh perjuangan berniat untuk tetap bisa bersekolah. Apalagi zaman itu masih sedikit orang yang bisa bersekolah,” ungkap Ida Padinta mengenang kejadian kurang lebih setengah abad silam.

Ibunya saat itu hanya memelihara memeri (anak bebek) tentu semuanya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah. Ida Pandita tidak malu untuk mengungkapkan bahwa untuk biaya sekolah ia harus nyuluh (mencari belut) pada malam hari, barulah keesokan harinya dijual. Begitu kesehariannya saat masih mengenyam pendidikan S.R. tahun 1947. Namun hal ini tidak dilakukannya sendiri, bukan hanya ia yang mengalami kesulitan ekonomi pada saat itu, namun semua orang merasakan hal yang sama pada zaman sebelum kemerdekaan hingga menjelang kemerdekaan RI.

“Setelah menamatkan studi dan menginjak remaja, tiang dipilih sebagai kepala dusun. Dari situ tiang jengah ingin meraih kemajuan dalam kehidupan. Akhirnya mencoba melamar sebagai pegawai negeri dan diterima di Departemen Sosial, dan tetap merangkap sebagai pengurus adat,” ungkapnya.

Kehidupan yang penuh dengan perjuangan dijalani tanpa rasa putus asa, bahkan saat ia masih berusia dua puluh tahun ikut sebagai penggerak dalam perjuangan melawan Jepang. “Setelah tiang bekerja sebagai PNS, muncullah ketertarikan untuk membaca buku-buku. Dari situ tiang menemukan apa yang disebut Catur Asrama. Dengan jalan itulah tiang tertarik sekadi mangkin,” jelasnya.

“Tiang menikah sampun wayah, karena merasa tidak memiliki apa-apa takut dekat denagn wanita. Namun merupakan tingkatan yang harus dilalui masa grehasta, baru tahun 1959 menikah,” ungkapnya.

Kehidupan rumah tangga dijalani dengan penuh perjuangan. Gaji seorang PNS saat itu masih sangat minim. Namun tetap dijalani dengan tulus ikhlas, dalam memberi penyuluhan ke desa-desa tak kenal waktu. Hanya bermodal sepeda motor tua ratusan desa di Tabanan ia datangi memenuhi tugasnya memberikan penyuluhan.

Lama kelamaan muncullah keinginan untuk terus berkembang, hingga kurang lebih sejak sepuluh tahun lalu ia merintis usaha Furniture Teras House Bali. Semuanya berjalan lancar dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 120 karyawan. Semuanya tdiak lepas dari perjuangan dan doa.

Keinginan untuk madiksa masih lekat semenjak ia bekerja di Departemen Sosial. Sebelum mengambil keputusan untuk mediksa, ia menjelaskan kepada istrinya bahwa tujuannya untuk madiksa bukan semata-mata untuk muput. “Itu adalah sebagai penyucian diri satmaka raga hidup sube maaben. Maka diawali dengan mati raga, bantennya pun sama seperti banten pengabenan. Kemudian hidup lagi, didiksa. Demikian tiang memberi pengertian kepada istri hingga sepakat untuk madiksa,” jelas Ida Pandita dari Delod Uma, Desa Pekraman Kaba-kaba, Kediri, Tabanan.

Sebelumnya upacara madeg bhawati telah dilaksanakan tanggal 19 Desember 2007. dilanjutkan dengan madiksa tanggal 16 Agustus 2008 lalu dengan Nabe, Ida Pandita Mpu Nabe Dharmika Tanaya.

Suasana griya sangat asri, terlihat pohon kamboja menghiasi hampir di setiap sudut pekarangan memberi semarak pada kehidupan griya yang sepi. Menurut Ida Pandita, suasana seperti inilah memberinya ketenangan, lebih introspeksi diri benar-benar menjalankan kependetaan. Suara air pancoran di jaba merajan seakan membawa hanyut dalam suasana kedamaian.

Dari penuturan diketahui Ida Pandita Mpu Dhaksa Dharma Tenaya senang membaca huruf Bali. “Tiang guru kekawin dan kidung ring Desa Adat Kaba-Kaba. Sudah beberapa kali mengikuti lomba pasti mendapat juara,” ungkapnya.

Meskipun telah menjadi seorang bhawati, namun hingga kini anak-anak dari tingkat SD, SMP yang biasa dibinanya masih tetap belajar ke griya. Ini menjadi suatu kebanggan tersendiri, bisa berguna untuk umat dan masyarakat.

Sudah cukup lama Ida Pandita mengabdikan diri di desa kelahirannya yang dulu jauh dari kemajuan, terisolir, menurutnya merupakan desa bucu kelod kangin Tabanan.

Ida Pedanda Putra Manuaba

Ingkar Janji Musibah Datang
reporter : ayu ratna

Karena tidak percaya dan memiliki jiwa penasaran ditambah dengan sikap tidak menepati janji, padahal janji itu telah disepakati sebelumnya oleh sulinggih sendiri kepada Aji (alm), hingga akhirnya musibah itupun terjadi. Untung tidak bisa dicari dan malang tidak bisa dihindari. Mungkin itulah pepatah yang pas buat sulinggih dari Griya Gede Mandara Manuaba, Banjar. Sedang, Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.

Dari Desa Jagapati kemudian ke utara melintasi Desa Angantaka terus ke utara lagi maka yang dilintasi adalah Desa Sedang. Suasana yang masih asri suasana pedesaan tampak dengan pemandangan dari kanan maupun kiri dibentangi dengan hamparan sawah yang hijau. Persis di daerah persawahan itu kalau dari Selatan datangnya maka dari kanan jalan akan melihat jalan kira-kira berukuran satu setengah meter, pas untuk sepeda motor.

Sekitar 50 meter dari jalan itu, sebelah kiri persis di depan pintu masuk ada bangunan pertama dengan tembok bata itulah Griya Ida Pedanda Putra Manuaba. Pertama memasuki griya beliau, suasana begitu asri dan sejuk, terdengar suara ayam sepertinya Peranda senang memelihara ayam, tapi bukan seorang bebotoh. Hanya sebagai tanda alam bila pagi sudah menjelang tiba.

Terlihat Ida Peranda sedang duduk bersila di bale daja seperti sedikit ada kesibukan, karena tampaknya sangat serius. Ada beberapa jenis bunga di hadapan beliau, entah beliau mau membuat apa. Melihat kehadiran wartawan Bali Aga, dari kejauhan beliau sudah tersenyum dengan ramah dan menyapa kemudian mempersilakan duduk, lalu menanyakan ada kepentingan apa datang ke griya. Damai, sejuk dan tenang itulah yang terasa. Sempat wartawan Bali Aga menoleh ke kanan dan ke kiri, sebab sedari tadinya Peranda Istri tidak nampak.

Setelah beliau tahu tentang keperluan wartawan Bali Aga, Peranda berjambang tipis ini tampak menarik nafas panjang entah apa makna dari semua itu. Sejenak diam, dan beliau pun akhirnya memulai kisah hidup perjalanan beliau dari walaka hingga sampai sekarang setelah menjadi Peranda.

Sekitar tahun 1967 Peranda sempat transmigrasi ke Sulawesi bersama istri. Sekian tahun beliau berada di perantauan. Suatu hari, Aji beliau yang kini sudah almarhum meminta agar kembali ke Bali dan melanjutkan jejak Aji untuk mau menjadi seorang sulinggih. Waktu itu, beliau menyanggupi untuk pulang dan mau madiksa sesuai dengan permintaan Ajinya. Itu dilakukan oleh Aji melalui telepon maupun lewat surat.

Peranda tidak begitu cepat mau pulang ke Bali dan tetap bertahan di tanah perantauan. Hingga tahun 1971 beliau pun pulang. Namun, waktu beliau pulang ke tanah kelahiran tidak seperti kondisi saat masih tinggal diperantauan. Semua sudah berubah, beliau pulang tanpa ditemani istri tercinta. Karena seperti pengakuan beliau, saat itu beliau pulang dalam kondisi duda, karena cerai.

Tiba di Bali, beliau disarankan untuk mengambil istri lagi, hingga beliau memperistri seorang gadis cantik dari Griya Sedang bernama Ida Ayu Nyoman Oka (walaka) setelah didiksa bernama Ida Pedanda Istri Sida Arsa. Hingga suatu hari sulinggih sempat jatuh sakit separuh tubuh (sakit asibak), beliau mencoba untuk datang ke dokter dan ternyata hasil dari pemeriksaan, kondisi beliau sehat dan tidak tampak ada penyebab dari sakit yang beliau derita.

Sudah berbulan-bulan lamanya sakit itu dirasakan oleh beliau, suatu hari melalui seorang pemangku desa menyarankan untuk bertanya kepada balian (dukun). Alhasil, balian itu mendapat petunjuk tentang sakit yang dialami sulinggih karena ada suatu janji yang sampai waktu itu belum ditepati. Sulinggih belum percaya, karena saat itu yang tedun bukan leluhurnya, namun meminjam badan orang lain.

Karena tidak percaya, kembali dari mangku desa menyarankan untuk bertanya kembali hanya dengan sarana canang dan uang kepeng bolong sebanyak dua kepeng. Walau sesungguhnya itu tidak boleh dilakukan. Tapi, sepertinya balian itu memberi kebijaksanaan dan kembali memohon petunjuk. Apa yang terjadi? Petunjuk itu kembali datang dan langsung dari Aji beliau sendiri yang sudah menjadi leluhur.

Ning ning, ne Bapa. Sing ning percaya? Yen dugas pidan nu bape walaka bape mawasta Ida Bagus Rai. Suba lantas bapa madiksa bapa mewasta Ida Pedanda Singarsa. Suba ning inget? Nah, nyen keto engken ning jani, nyak dadi pedanda nerusin pejalan bapa? Orang jani yen ning nyak, yen sing, jalan jani ning milu pejalan bape ne cara jani (ikut mati),” hasil peluasan. Barulah di sana Peranda tercengang dan mulai ingat akan janji yang sudah lama beliau sepakati, rasa percaya pun muncul.

Selain mendapat tawaran untuk menjadi sulinggih, Aji beliau juga memberi bekal agar bisa terus menyambung hidup beliau setelah nantinya mau untuk menepati janji itu. Melalui petunjuk saat maluasin, Aji beliau menyarankan Peranda pulang ke Griya Sibang dan bertemu dengan ibu di sana. Dan menyuruh ibu beliau mengambil sesuatu di sanggah kemulan dengan cara dipendak kemudian dilinggihkan di warung tempat usaha Peranda sendiri.

Apa yang terjadi? Berselang beberapa hari usaha warung yang dimiliki Peranda selalu ramai tanpa pernah sepi dari pembeli. Permintaan itu awalnya diajukan oleh istri Pedanda sendiri meminta kepada Aji (mertua) tujuannya agar bisa memiliki tempat tinggal di Desa Sedang tempat kediaman beliau saat ini.

Tanah seluas 3 are pun berhasil dibeli ditambah lagi pemberian dari seseorang yang berjanji di dalam hati orang itu sendiri, kalau beliau berhasil memiliki tanah dengan membeli sendiri orang itu mau memberi tanah seluas 2 are. Jadi keseluruhan tanah beliau saat ini sebanyak 5 are. Selanjutnya, perencanaan awal pembangunan dimulai dari membangun dapur.

Sayangnya kebahagiaan itu hanya sesaat, karena istri tercinta jatuh sakit saat ditinggal kawin oleh putri tersayang, menyebabkan kedua Peranda ini merasa kesepian. Hingga menjelang ajal, istri tercinta pun akhirnya meninggal. Kesedihan kembali dirasa sulinggih, dan itu nampak dengan jelas dari kedua bola mata beliau berkaca-kaca dan menarik nafas seperti terasa sesak dan begitu berat cobaan hidup yang harus dihadapi Ida Peranda. Tapi, Peranda sempat mengatakan agar sebagai orang harus belajar untuk selalu bersyukur dalam kondisi apapun.

Merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi, beliau pun menyerahkan diri beliau kepada nabe sepenuhnya. Dari nabe, diangkatlah beliau menjadi putra setelah di peras sebelumnya. Beliau kini bersaudara dengan Ida Bagus Sudarsana yang tinggal di Jalan Pulau Saelus Gang I No.5 Pedungan. Salah satu putri dari Ida Bagus Sudarsana yakni Ida Ayu Ratih sangat perhatian kepada Peranda begitu juga dengan suaminya sendiri Ida Bagus Putrawan juga peduli menganggap seperti orang tua sendiri.

Kedua putra dan putri inilah yang menjadi semangat hidup Ida Peranda, karena pada dasarnya dari Peranda sendiri baik dari istri pertama dan kedua tidak memiliki putra. Ida Peranda juga merasa bahagia dan bangga memiliki anak dan menantu yang semuanya seorang dokter. Peranda mendoakan semoga selalu sehat dan panjang umur kepada anak maupun menantu. Peranda pun tersenyum, walau sesungguhnya Peranda merasa sedih karena kebahagiaan dirasa tanpa adanya istri tercinta.

Ida Pedanda Gede Mas Jelantik

Syukuri Keragaman sebagai Anugerah Tuhan
Reporter : IA. Sadnyari
Keanekaragaman yang menghuni jagat ini, memang tak bisa dihindari, baik ragam agama, golongan, etnis, dan ragam lainnya patut dihargai. Karagaman ini akan memberikan keindahan untuk dijaga dan dipupuk sebagai anugrah Tuhan, bukan sebaliknya dijadikan bahan saling menjelek-jelekan. Untuk itu, umat manusia perlu melakukan mawas diri untuk menjaga kerukunan di antara keragaman yang ada.

Menjaga keutuhan bangsa adalah idaman setiap orang yang berjiwa kebangsaan. Tidak peduli berasal dari suku, golongan dan agama apapun. Yang terpenting bagaimana bersama-sama dapat menciptakan kehidupan yang rukun sehingga persatuan tercapai. Memang perbedaan yang ada pada setiap daerah di wilayah Indonesia tak terkira jumlahnya. Tidak usah melihat terlalu jauh, di Bali sendiri yang terbilang pulau kecil, ada berbagai keanekaragaman di dalamnya. Namun jika bisa melihat dari sisi positif keanekaragaman tersebut, bisa dilihat Bali kaya akan seni dan budaya yang selalu diidamkan oleh setiap orang.

Pulau Bali meski dengan keanekaragaman yang ada mampu menjaga kerukunan hidup sehingga yang terlihat dan dirasakan adalah kehidupan masyarakat yang rukun dan tentram. Setiap orang yang datang akan merasakan aura cinta dan spiritual yang sangat lekat membalut Pulau Bali. Dengan kelebihan yang dimiliki, tentunya banyak godaan yang datang dan menguji ketahanan Bali sebagai Pulau Dewata. Peran seluruh umat tanpa terkecuali sangat dibutuhkan untuk mendukung menjaga Bali tetap aman dan nyaman.

“Semoga kita semua menuju pada kesadaran diri. Di zaman sekarang ini yang rentan terhadap berbagai permasalahan, umat agar mawas diri. Dengan mawas diri maka tidak ada perpecahan antar umat beragama,” ungkap Ida Pedanda Gede Mas Jelantik dari Griya Buda Keling, Karangasem.

Mawas diri dimulai dari diri sendiri, bercermin apakah diri ini sudah lebih bagus sehingga berani menjelek-jelekan orang lain. Sebuah kesadaran diri akan kekurangan yang dimiliki adalah poin penting untuk selalu bisa mengontrol emosi dan melakukan perbaikan sikap. Hal ini tidak beda jauh dengan pengendalian diri terhadap keserakahan yang sering menggoda dalam hidup ini. Baik harta maupun kekuasaan.

Merasa bagian dari umat setiap orang hendaknya mengabdikan diri serta rela berkorban demi kepentingan bersama. Tahu memilah mana kepentingan yang harus diutamakan dan mana yang bisa diundur. Dengan demikian semua bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tingkat kepentingannya.

Seperti kurangnya jumlah sulinggih dibandingkan dengan jumlah umat yang dilayani sangat terasa terutama di luar Bali. Karena merasa memiliki, sang sulinggih dari Bali tentunya bersedia untuk muput karya di luar Bali. Penyebaran sulinggih di luar Pulau Bali perlu diperhatikan sehingga akan mempermudah dalam pelaksanaan upacara agama. Selain itu penyebaran tapini juga sangat perlu mendapat perhatian. Setiap upacara tidak lepas dari banten di mana pembuatan banten perlu dipelajari dengan serius.

“Kesadaran umat di luar Bali terlihat semakin tinggi. Contohnya saat Ratu muput ring Candi Ceto, Solo umat Hindu terlihat antusias ngayah dalam upacara yang berlangsung. Dari kesadaran akan menumbuhkan perkembangan pada kehidupan beragama. Demikian juga umat beragama lain menunjukkan toleransi dan rasa menghormati terhadap upacara yang berlangsung,” ungkap Ida Pedanda kelahiran 1957. Mulai dari semangat dalam membangun tempat suci untuk memajukan dan membantu umat. Ini terlihat jelas dari kesadaran mereka yang tumbuh seiring dengan bhakti yang dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ida Pandita Mpu Siwa Dhaksa Kusuma

Jalani Titah Catur Asrama

Reporter : I Putu Patra

Ada alasan khusus bagi Ida Pandita Mpu Siwa Dhaksa Kusuma mengapa menapak jalan madiksa. Intinya adalah penyucian diri seperti yang telah dititahkan dalam ajaran Weda dengan jalan Catur Asrama (Empat tingkatan hidup). Di samping mengikuti jejak leluhur guna meneruskan perjalanan beliau. Juga mendapat dukungan luas dari masyarakat secara sekala.


Berbicara dengan sulinggih yang baru saja didiksa memberikan kesan serba baru. Jalan hidup juga baru dalam arti karena status sudah berbeda. Tidak lagi seperti walaka. Jalan menjadi sulinggih bukanlah suatu yang menakutkan, karena sudah diatur berdasarkan karma. Apalagi di dalam ajaran Weda memberikan tuntunan setiap kehidupan agar meningkatkan kesucian. Mulai dari melaksanakan pawintenan Saraswati guna melangkah menimba ilmu.

Juga dikenal dengan pawintenan kepamangkuan yaitu penyucian bagi yang akan menjalani hidup sebagai pamangku, begitu seterusnya menjadi jro gede (Ida Bhawati), hingga pawintenan trijati menjadi sang sulinggih. Jalan ini telah ditapak I Gede Sukadana mulai dari langkah awal sehingga menjadi sulinggih bergelar Ida Pandita Mpu Siwa Dhaksa Kusuma.

Bagaimana perjalanan Ida Pandita dari walaka hingga menjadi sulinggih? Berbincang-bincang dengan Ida Pandita berjambang hitam lebat ini tidaklah sulit. Apalagi baru saja malinggih pada tanggal 10 September 2008. Masih belia sekali kalau dihitung dari kelahiran bayi.

Tapi, perjalanan madiksa hingga bergelar Ida Pandita telah dijalani dengan pertimbangan yang matang, digembleng dengan berbagai ajaran rohani, upakara, spiritual, serta etika sebagai orang suci. Begitu juga sesana sulinggih telah dipahami Ida Pandita kelahiran tahun 1945 ini.

Sejatinya, tutur sulinggih 9 anak ini, tidak terbayang akan menjadi sulinggih. Tapi titah secara niskala memberikan jalan agar mau menuruti pamargin sang leluhur. Apalagi di karang yang ditempati sekarang ini pernah ditinggalkan cukup lama karena suatu hal. Akhirnya kembali ke karang semula guna melanjutkan titah Ida Sasuhunan.

Dengan perjalanan hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Ida Pandita yang tinggal di Punggul, Abiansemal, Badung ini punya skil cukup membanggakan. Artinya, tidak semua orang mampu melakoni pekerjaan tersebut. Programmer ahli bade, atau membuat sket-sket palinggih adalah keahlian Ida Pandita sejak walaka. Anehnya di dalam menekuni profesi tersebut, tutur Pandita bertubuh agak tambun ini, sering mensosialkan hasil karyanya. Maksudnya tidak menerima upah/bayaran. Semua ini, beliau lakukan karena merasa wajib melakukan dana punia sesuai dengan kemampuan.

“Tiang tidak jarang melakukan pekerjaan tanpa bayaran, semua itu tiang lakukan dengan hati yang tulus,” tutur Pandita berpenampilan tenang ini. Ditanya alasan madiksa? “Tiang ngamargiang catur asrman. Agama ngicenin iraga ngamargiang undag-undang hidup, ngawit saking sor nyantos malinggih nyuciang raga,” beber Ida Pandita dengan apa adannya.

Setelah malinggih, kata Pandita lebih lanjut, tugas berat dipikul sebagai tanggung jawab dalam kesulinggihan. Bahkan setelah menjadi sulinggih, ada sesana yang wajib ditaati. Tidak boleh sembarangan pergi atau keluar griya tanpa ada yang menemani. Berbeda sejak walaka, atau menjadi Bhawati, masih bisa keluar bebas dalam arti sesuai dengan sesana.

“Yang paling pokok, malinggih kadi baos wawu, bukan semata agar dapat muput yadnya. Tujuan madiksa sane pinih unteng adalah ngarastiti jagat, tur memberikan pencerahan rohani kepada umat sami,” urai Pandita tamatan SMP ini.

Ida Pandita Mpu Nabe Dharma Wijaya Kusuma

Ngetut Pemargin Bhatara Kawitan
Reporter : Andiawan

Tujuan utama madiksa menurut ajaran Weda adalah penyucian diri. tapi, tidak semua umat mau madiksa. Terkadang melalui tuntunan nis baru mau madiksa. Sebab, menjadi sulinggih sangat berat di dalam menaati sesana. Tapi bagi sulinggih bernama walaka Made Adnya madiksa atas dorongan ngetut pamargin Bhatara Kawitan.

Matahari mulai menyingsing tepat di atas kepala yang sinarnya begitu menyengat saat wartawan TBA tiba di salah satu griya yang beralamat di Lingkungan Petak, Kelurahan Astina, Buleleng. Tepatnya di Jalan Yudistira /81, Singaraja. Dilihat dari luar, memang tidak ada yang istimewa terlihat di sana, hanya ada dua patung yang dipasang di depan kori.

Ketika melangkah lebih jauh, TBA sempat menghentikan langkah, karena ada suara menyapa dengan mengucapkan (Om Swastyastu) walaupun tak terlalu jelas, padahal saat itu di griya hanya ada Ida Pandita Mpu, sibuk dengan aktivitasnya. Setelah dicermati, ternyata suara tersebut dilontarkan seekor burung beo yang ditaruh di salah satu tempat dengan sangkar yang cukup bagus di samping telaga di bawah pohon mangga.

Burung beo ini memang cukup pintar, karena ia bisa menirukan berbagai jenis suara, baik suara manusia, suara binatang, bahkan bunyi klakson pun bisa ditirukannya. Melihat sangkarnya yang dibuat cukup bagus, terlihat burung itu diperlakukan cukup istimewa.

Suasana sangat berbeda ketika masuk lebih ke dalam. Lokasi griya yang tidak terlalu luas, memiliki aura kesejukan sangat tinggi. Karena, selain beberapa jenis pot bunga dipajang di depan merajannya, di salah satu pojok tumbuh begitu suburnya pohon mangga yang berbuah cukup lebat. Desiran angin yang berhembus dari sela-sela daun mangga, menambah kesejukan griya.

Mengetahui kami datang Ida Pandita Mpu serta merta menghentikan aktivitasnya seraya mengajak bercerita panjang lebar terkait pengalaman hidupnya mulai dari saat walaka hingga melinggih menjadi seorang sulinggih. “Tiang menjadi seperti sekarang ini, karena ingin Ngetut Pemargin Ida Bhatara Kawitan,” ujar Ida Pandita yang saat walaka bernama Made Adnya ini mengawali ceritanya.

Kiprahnya di masyarakat saat masih walaka tak diragukan lagi, berbagai organisasi pernah di pimpinnya. Sepak terjangnya selalu menjadi suritauladan/contoh bagi warga dan masyarakat lainnya. Keinginan dan niat sucinya, untuk meningkatkan kesucian diri, dan ingin Ngetut Pemargin Bhatara Kawitan semakin besar dan kuat. Sehingga memacu untuk lebih giat belajar, guna mewujudkan cita-citanya tersebut.

Akhirnya, tahun 1987 Ida Pandita Mpu yang dikenal ramah ini, kajumput menjadi pemangku di merajannya. Mulai saat itu Ida Pandita kelahiran tahun 1940 ini terus meningkatkan kemampuannya dengan aguron-goron (menempa diri) di salah satu griya, tepatnya di Griya Panaraga, Penarukan, yang saat itu digembleng Ida Pandita Mpu Nabe Dwi Tantra. Tahun 1990 hingga tahun 1992 Ida Pandita mampu meningkatkan kepemangkuannya menjadi Jro Gede. Kemudian tahun 1992 hingga tahun 2000 Ida Pandita Mpu kembali berhasil meningkatkan diri dengan melakukan pawintenan tingkat ekajati, sehingga Ida berhak menyandang gelar Ida Bawati. Semangatnya untuk meningkatkan kesucian diri semakin kuat, dengan terus memacu diri meningkatkan kualitas spiritual, dengan mengikuti berbagai pelatihan kepemangkuan, cara belajar melalui nabe, lontar, maupun buku-buku agama. Hal itu dilakukan untuk menyiapkan diri untuk malinggih ngetut pemargin Ida Bhatara Kawitan.

Namun keinginn dan niat sucinya sempat terhenti, sebab belum sempat Ida Pandita di tapak, Ida Nabe keburu Amor Ring Acintya. Namun, tak membuat pupus harapannya. Ida Pandita memutuskan melanjutkan menabe (berguru) di Griya Suka Asti, Bakung, Sukasada, Buleleng. Kemudian setelah dirasa siap secara lahir-bhatin, akhirnya pada tahun 2000, Ida Pandita memutuskan untuk melaksanakan upacara pawintenan tingkat dwijati/madiksha. Tugas dan tanggung jawab sebagai seorang sulinggih sangat berat dan kompleks.