Syukuri Keragaman sebagai Anugerah Tuhan
Reporter : IA. Sadnyari
Keanekaragaman yang menghuni jagat ini, memang tak bisa dihindari, baik
ragam agama, golongan, etnis, dan ragam lainnya patut dihargai. Karagaman ini akan memberikan keindahan untuk dijaga dan dipupuk sebagai anugrah Tuhan, bukan sebaliknya dijadikan bahan saling menjelek-jelekan. Untuk itu, umat manusia perlu melakukan mawas diri untuk menjaga kerukunan di antara keragaman yang ada.
Menjaga keutuhan bangsa adalah idaman setiap orang yang berjiwa kebangsaan. Tidak peduli berasal dari suku, golongan dan agama apapun. Yang terpenting bagaimana bersama-sama dapat menciptakan kehidupan yang rukun sehingga persatuan tercapai. Memang perbedaan yang ada pada setiap daerah di wilayah
Indonesia tak terkira jumlahnya. Tidak usah melihat terlalu jauh, di Bali sendiri yang terbilang pulau kecil, ada berbagai keanekaragaman di dalamnya. Namun jika bisa melihat dari sisi positif keanekaragaman tersebut, bisa dilihat
Bali kaya akan seni dan budaya yang selalu diidamkan oleh setiap orang.
Pulau Bali meski dengan keanekaragaman yang ada mampu menjaga kerukunan hidup sehingga yang terlihat dan dirasakan adalah kehidupan masyarakat yang rukun dan tentram. Setiap orang yang datang akan merasakan aura cinta dan spiritual yang sangat lekat membalut Pulau Bali. Dengan kelebihan yang dimiliki, tentunya banyak godaan yang datang dan menguji ketahanan Bali sebagai Pulau Dewata. Peran seluruh umat tanpa terkecuali sangat dibutuhkan untuk mendukung menjaga Bali tetap aman dan nyaman.
“Semoga kita semua menuju pada kesadaran diri. Di zaman sekarang ini yang rentan terhadap berbagai permasalahan, umat agar mawas diri. Dengan mawas diri maka tidak ada perpecahan antar umat beragama,” ungkap Ida Pedanda Gede Mas Jelantik dari Griya Buda Keling, Karangasem.
Mawas diri dimulai dari diri sendiri, bercermin apakah diri ini sudah lebih bagus sehingga berani menjelek-jelekan orang lain. Sebuah kesadaran diri akan kekurangan yang dimiliki adalah poin penting untuk selalu bisa mengontrol emosi dan melakukan perbaikan sikap. Hal ini tidak beda jauh dengan pengendalian diri terhadap keserakahan yang sering menggoda dalam hidup ini. Baik harta maupun kekuasaan.
Merasa bagian dari umat setiap orang hendaknya mengabdikan diri serta rela berkorban demi kepentingan bersama. Tahu memilah mana kepentingan yang harus diutamakan dan mana yang bisa diundur. Dengan demikian semua bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tingkat kepentingannya.
Seperti kurangnya jumlah sulinggih dibandingkan dengan jumlah umat yang dilayani sangat terasa terutama di luar Bali. Karena merasa memiliki, sang sulinggih dari Bali tentunya bersedia untuk muput karya di luar Bali. Penyebaran sulinggih di luar Pulau Bali perlu diperhatikan sehingga akan mempermudah dalam pelaksanaan upacara agama. Selain itu penyebaran tapini juga sangat perlu mendapat perhatian. Setiap upacara tidak lepas dari banten di mana pembuatan banten perlu dipelajari dengan serius.
“Kesadaran umat di luar Bali terlihat semakin tinggi. Contohnya saat Ratu muput ring Candi Ceto, Solo umat Hindu terlihat antusias ngayah dalam upacara yang berlangsung. Dari kesadaran akan menumbuhkan perkembangan pada kehidupan beragama. Demikian juga umat beragama lain menunjukkan toleransi dan rasa menghormati terhadap upacara yang berlangsung,” ungkap Ida Pedanda kelahiran 1957. Mulai dari semangat dalam membangun tempat suci untuk memajukan dan membantu umat. Ini terlihat jelas dari kesadaran mereka yang tumbuh seiring dengan bhakti yang dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.