Ida Pedanda Putra Manuaba

Ingkar Janji Musibah Datang
reporter : ayu ratna

Karena tidak percaya dan memiliki jiwa penasaran ditambah dengan sikap tidak menepati janji, padahal janji itu telah disepakati sebelumnya oleh sulinggih sendiri kepada Aji (alm), hingga akhirnya musibah itupun terjadi. Untung tidak bisa dicari dan malang tidak bisa dihindari. Mungkin itulah pepatah yang pas buat sulinggih dari Griya Gede Mandara Manuaba, Banjar. Sedang, Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.

Dari Desa Jagapati kemudian ke utara melintasi Desa Angantaka terus ke utara lagi maka yang dilintasi adalah Desa Sedang. Suasana yang masih asri suasana pedesaan tampak dengan pemandangan dari kanan maupun kiri dibentangi dengan hamparan sawah yang hijau. Persis di daerah persawahan itu kalau dari Selatan datangnya maka dari kanan jalan akan melihat jalan kira-kira berukuran satu setengah meter, pas untuk sepeda motor.

Sekitar 50 meter dari jalan itu, sebelah kiri persis di depan pintu masuk ada bangunan pertama dengan tembok bata itulah Griya Ida Pedanda Putra Manuaba. Pertama memasuki griya beliau, suasana begitu asri dan sejuk, terdengar suara ayam sepertinya Peranda senang memelihara ayam, tapi bukan seorang bebotoh. Hanya sebagai tanda alam bila pagi sudah menjelang tiba.

Terlihat Ida Peranda sedang duduk bersila di bale daja seperti sedikit ada kesibukan, karena tampaknya sangat serius. Ada beberapa jenis bunga di hadapan beliau, entah beliau mau membuat apa. Melihat kehadiran wartawan Bali Aga, dari kejauhan beliau sudah tersenyum dengan ramah dan menyapa kemudian mempersilakan duduk, lalu menanyakan ada kepentingan apa datang ke griya. Damai, sejuk dan tenang itulah yang terasa. Sempat wartawan Bali Aga menoleh ke kanan dan ke kiri, sebab sedari tadinya Peranda Istri tidak nampak.

Setelah beliau tahu tentang keperluan wartawan Bali Aga, Peranda berjambang tipis ini tampak menarik nafas panjang entah apa makna dari semua itu. Sejenak diam, dan beliau pun akhirnya memulai kisah hidup perjalanan beliau dari walaka hingga sampai sekarang setelah menjadi Peranda.

Sekitar tahun 1967 Peranda sempat transmigrasi ke Sulawesi bersama istri. Sekian tahun beliau berada di perantauan. Suatu hari, Aji beliau yang kini sudah almarhum meminta agar kembali ke Bali dan melanjutkan jejak Aji untuk mau menjadi seorang sulinggih. Waktu itu, beliau menyanggupi untuk pulang dan mau madiksa sesuai dengan permintaan Ajinya. Itu dilakukan oleh Aji melalui telepon maupun lewat surat.

Peranda tidak begitu cepat mau pulang ke Bali dan tetap bertahan di tanah perantauan. Hingga tahun 1971 beliau pun pulang. Namun, waktu beliau pulang ke tanah kelahiran tidak seperti kondisi saat masih tinggal diperantauan. Semua sudah berubah, beliau pulang tanpa ditemani istri tercinta. Karena seperti pengakuan beliau, saat itu beliau pulang dalam kondisi duda, karena cerai.

Tiba di Bali, beliau disarankan untuk mengambil istri lagi, hingga beliau memperistri seorang gadis cantik dari Griya Sedang bernama Ida Ayu Nyoman Oka (walaka) setelah didiksa bernama Ida Pedanda Istri Sida Arsa. Hingga suatu hari sulinggih sempat jatuh sakit separuh tubuh (sakit asibak), beliau mencoba untuk datang ke dokter dan ternyata hasil dari pemeriksaan, kondisi beliau sehat dan tidak tampak ada penyebab dari sakit yang beliau derita.

Sudah berbulan-bulan lamanya sakit itu dirasakan oleh beliau, suatu hari melalui seorang pemangku desa menyarankan untuk bertanya kepada balian (dukun). Alhasil, balian itu mendapat petunjuk tentang sakit yang dialami sulinggih karena ada suatu janji yang sampai waktu itu belum ditepati. Sulinggih belum percaya, karena saat itu yang tedun bukan leluhurnya, namun meminjam badan orang lain.

Karena tidak percaya, kembali dari mangku desa menyarankan untuk bertanya kembali hanya dengan sarana canang dan uang kepeng bolong sebanyak dua kepeng. Walau sesungguhnya itu tidak boleh dilakukan. Tapi, sepertinya balian itu memberi kebijaksanaan dan kembali memohon petunjuk. Apa yang terjadi? Petunjuk itu kembali datang dan langsung dari Aji beliau sendiri yang sudah menjadi leluhur.

Ning ning, ne Bapa. Sing ning percaya? Yen dugas pidan nu bape walaka bape mawasta Ida Bagus Rai. Suba lantas bapa madiksa bapa mewasta Ida Pedanda Singarsa. Suba ning inget? Nah, nyen keto engken ning jani, nyak dadi pedanda nerusin pejalan bapa? Orang jani yen ning nyak, yen sing, jalan jani ning milu pejalan bape ne cara jani (ikut mati),” hasil peluasan. Barulah di sana Peranda tercengang dan mulai ingat akan janji yang sudah lama beliau sepakati, rasa percaya pun muncul.

Selain mendapat tawaran untuk menjadi sulinggih, Aji beliau juga memberi bekal agar bisa terus menyambung hidup beliau setelah nantinya mau untuk menepati janji itu. Melalui petunjuk saat maluasin, Aji beliau menyarankan Peranda pulang ke Griya Sibang dan bertemu dengan ibu di sana. Dan menyuruh ibu beliau mengambil sesuatu di sanggah kemulan dengan cara dipendak kemudian dilinggihkan di warung tempat usaha Peranda sendiri.

Apa yang terjadi? Berselang beberapa hari usaha warung yang dimiliki Peranda selalu ramai tanpa pernah sepi dari pembeli. Permintaan itu awalnya diajukan oleh istri Pedanda sendiri meminta kepada Aji (mertua) tujuannya agar bisa memiliki tempat tinggal di Desa Sedang tempat kediaman beliau saat ini.

Tanah seluas 3 are pun berhasil dibeli ditambah lagi pemberian dari seseorang yang berjanji di dalam hati orang itu sendiri, kalau beliau berhasil memiliki tanah dengan membeli sendiri orang itu mau memberi tanah seluas 2 are. Jadi keseluruhan tanah beliau saat ini sebanyak 5 are. Selanjutnya, perencanaan awal pembangunan dimulai dari membangun dapur.

Sayangnya kebahagiaan itu hanya sesaat, karena istri tercinta jatuh sakit saat ditinggal kawin oleh putri tersayang, menyebabkan kedua Peranda ini merasa kesepian. Hingga menjelang ajal, istri tercinta pun akhirnya meninggal. Kesedihan kembali dirasa sulinggih, dan itu nampak dengan jelas dari kedua bola mata beliau berkaca-kaca dan menarik nafas seperti terasa sesak dan begitu berat cobaan hidup yang harus dihadapi Ida Peranda. Tapi, Peranda sempat mengatakan agar sebagai orang harus belajar untuk selalu bersyukur dalam kondisi apapun.

Merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi, beliau pun menyerahkan diri beliau kepada nabe sepenuhnya. Dari nabe, diangkatlah beliau menjadi putra setelah di peras sebelumnya. Beliau kini bersaudara dengan Ida Bagus Sudarsana yang tinggal di Jalan Pulau Saelus Gang I No.5 Pedungan. Salah satu putri dari Ida Bagus Sudarsana yakni Ida Ayu Ratih sangat perhatian kepada Peranda begitu juga dengan suaminya sendiri Ida Bagus Putrawan juga peduli menganggap seperti orang tua sendiri.

Kedua putra dan putri inilah yang menjadi semangat hidup Ida Peranda, karena pada dasarnya dari Peranda sendiri baik dari istri pertama dan kedua tidak memiliki putra. Ida Peranda juga merasa bahagia dan bangga memiliki anak dan menantu yang semuanya seorang dokter. Peranda mendoakan semoga selalu sehat dan panjang umur kepada anak maupun menantu. Peranda pun tersenyum, walau sesungguhnya Peranda merasa sedih karena kebahagiaan dirasa tanpa adanya istri tercinta.