Dengan penuh keramahan kedatangan TBA disambut di griya Ida Pandita Mpu Dhaksa Dharma Tenaya. Suasana akrab meliputi obrolan ringan seputar padiksan Ida Pandita yang baru saja berlalu. Berlanjut mengenang kerasnya perjuangan hidup hingga ia bisa seperti saat ini, sukses membesarkan keempat anaknya dan melanjutkan pada tingkatan penyucian diri sesuai dengan ajaran Catur Asrama.
Tidak tertutup kemungkinan bagi anak seorang petani sekali pun untuk mengecap pendidikan hingga meraih cita-cita memiliki kehidupan yang lebih baik dalam segala hal. Dengan penuh kerendahan hati Ida Pandita Mpu Dhaksa Dharma Tenaya dengan nama walaka I Gede Suwetha mengisahkan perjalanan hidupnya hingga menjadi seorang sulinggih.
“Tiang hanya anak seorang petani. Bukan petani yang memiliki sawah sendiri, tetapi hanya petani penggarap. Dengan penuh perjuangan berniat untuk tetap bisa bersekolah. Apalagi zaman itu masih sedikit orang yang bisa bersekolah,” ungkap Ida Padinta mengenang kejadian kurang lebih setengah abad silam.
Ibunya saat itu hanya memelihara memeri (anak bebek) tentu semuanya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah. Ida Pandita tidak malu untuk mengungkapkan bahwa untuk biaya sekolah ia harus nyuluh (mencari belut) pada malam hari, barulah keesokan harinya dijual. Begitu kesehariannya saat masih mengenyam pendidikan S.R. tahun 1947. Namun hal ini tidak dilakukannya sendiri, bukan hanya ia yang mengalami kesulitan ekonomi pada saat itu, namun semua orang merasakan hal yang sama pada zaman sebelum kemerdekaan hingga menjelang kemerdekaan RI.
“Setelah menamatkan studi dan menginjak remaja, tiang dipilih sebagai kepala dusun. Dari situ tiang jengah ingin meraih kemajuan dalam kehidupan. Akhirnya mencoba melamar sebagai pegawai negeri dan diterima di Departemen Sosial, dan tetap merangkap sebagai pengurus adat,” ungkapnya.
Kehidupan yang penuh dengan perjuangan dijalani tanpa rasa putus asa, bahkan saat ia masih berusia dua puluh tahun ikut sebagai penggerak dalam perjuangan melawan Jepang. “Setelah tiang bekerja sebagai PNS, muncullah ketertarikan untuk membaca buku-buku. Dari situ tiang menemukan apa yang disebut Catur Asrama. Dengan jalan itulah tiang tertarik sekadi mangkin,” jelasnya.
“Tiang menikah sampun wayah, karena merasa tidak memiliki apa-apa takut dekat denagn wanita. Namun merupakan tingkatan yang harus dilalui masa grehasta, baru tahun 1959 menikah,” ungkapnya.
Kehidupan rumah tangga dijalani dengan penuh perjuangan. Gaji seorang PNS saat itu masih sangat minim. Namun tetap dijalani dengan tulus ikhlas, dalam memberi penyuluhan ke desa-desa tak kenal waktu. Hanya bermodal sepeda motor tua ratusan desa di Tabanan ia datangi memenuhi tugasnya memberikan penyuluhan.
Lama kelamaan muncullah keinginan untuk terus berkembang, hingga kurang lebih sejak sepuluh tahun lalu ia merintis usaha Furniture Teras House Bali. Semuanya berjalan lancar dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 120 karyawan. Semuanya tdiak lepas dari perjuangan dan doa.
Keinginan untuk madiksa masih lekat semenjak ia bekerja di Departemen Sosial. Sebelum mengambil keputusan untuk mediksa, ia menjelaskan kepada istrinya bahwa tujuannya untuk madiksa bukan semata-mata untuk muput. “Itu adalah sebagai penyucian diri satmaka raga hidup sube maaben. Maka diawali dengan mati raga, bantennya pun sama seperti banten pengabenan. Kemudian hidup lagi, didiksa. Demikian tiang memberi pengertian kepada istri hingga sepakat untuk madiksa,” jelas Ida Pandita dari Delod Uma, Desa Pekraman Kaba-kaba, Kediri, Tabanan.
Sebelumnya upacara madeg bhawati telah dilaksanakan tanggal 19 Desember 2007. dilanjutkan dengan madiksa tanggal 16 Agustus 2008 lalu dengan Nabe, Ida Pandita Mpu Nabe Dharmika Tanaya.
Suasana griya sangat asri, terlihat pohon kamboja menghiasi hampir di setiap sudut pekarangan memberi semarak pada kehidupan griya yang sepi. Menurut Ida Pandita, suasana seperti inilah memberinya ketenangan, lebih introspeksi diri benar-benar menjalankan kependetaan. Suara air pancoran di jaba merajan seakan membawa hanyut dalam suasana kedamaian.
Dari penuturan diketahui Ida Pandita Mpu Dhaksa Dharma Tenaya senang membaca huruf Bali. “Tiang guru kekawin dan kidung ring Desa Adat Kaba-Kaba. Sudah beberapa kali mengikuti lomba pasti mendapat juara,” ungkapnya.
Meskipun telah menjadi seorang bhawati, namun hingga kini anak-anak dari tingkat SD, SMP yang biasa dibinanya masih tetap belajar ke griya. Ini menjadi suatu kebanggan tersendiri, bisa berguna untuk umat dan masyarakat.
Sudah cukup lama Ida Pandita mengabdikan diri di desa kelahirannya yang dulu jauh dari kemajuan, terisolir, menurutnya merupakan desa bucu kelod kangin Tabanan.