Reporter : Andiawan
Ketika melangkah lebih jauh, TBA sempat menghentikan langkah, karena ada suara menyapa dengan mengucapkan (Om Swastyastu) walaupun tak terlalu jelas, padahal saat itu di griya hanya ada Ida Pandita Mpu, sibuk dengan aktivitasnya. Setelah dicermati, ternyata suara tersebut dilontarkan seekor burung beo yang ditaruh di salah satu tempat dengan sangkar yang cukup bagus di samping telaga di bawah pohon mangga.
Burung beo ini memang cukup pintar, karena ia bisa menirukan berbagai jenis suara, baik suara manusia, suara binatang, bahkan bunyi klakson pun bisa ditirukannya. Melihat sangkarnya yang dibuat cukup bagus, terlihat burung itu diperlakukan cukup istimewa.
Suasana sangat berbeda ketika masuk lebih ke dalam. Lokasi griya yang tidak terlalu luas, memiliki aura kesejukan sangat tinggi. Karena, selain beberapa jenis pot bunga dipajang di depan merajannya, di salah satu pojok tumbuh begitu suburnya pohon mangga yang berbuah cukup lebat. Desiran angin yang berhembus dari sela-sela daun mangga, menambah kesejukan griya.
Mengetahui kami datang Ida Pandita Mpu serta merta menghentikan aktivitasnya seraya mengajak bercerita panjang lebar terkait pengalaman hidupnya mulai dari saat walaka hingga melinggih menjadi seorang sulinggih. “Tiang menjadi seperti sekarang ini, karena ingin Ngetut Pemargin Ida Bhatara Kawitan,” ujar Ida Pandita yang saat walaka bernama Made Adnya ini mengawali ceritanya.
Kiprahnya di masyarakat saat masih walaka tak diragukan lagi, berbagai organisasi pernah di pimpinnya. Sepak terjangnya selalu menjadi suritauladan/contoh bagi warga dan masyarakat lainnya. Keinginan dan niat sucinya, untuk meningkatkan kesucian diri, dan ingin Ngetut Pemargin Bhatara Kawitan semakin besar dan kuat. Sehingga memacu untuk lebih giat belajar, guna mewujudkan cita-citanya tersebut.
Akhirnya, tahun 1987 Ida Pandita Mpu yang dikenal ramah ini, kajumput menjadi pemangku di merajannya. Mulai saat itu Ida Pandita kelahiran tahun 1940 ini terus meningkatkan kemampuannya dengan aguron-goron (menempa diri) di salah satu griya, tepatnya di Griya Panaraga, Penarukan, yang saat itu digembleng Ida Pandita Mpu Nabe Dwi Tantra. Tahun 1990 hingga tahun 1992 Ida Pandita mampu meningkatkan kepemangkuannya menjadi Jro Gede. Kemudian tahun 1992 hingga tahun 2000 Ida Pandita Mpu kembali berhasil meningkatkan diri dengan melakukan pawintenan tingkat ekajati, sehingga Ida berhak menyandang gelar Ida Bawati. Semangatnya untuk meningkatkan kesucian diri semakin kuat, dengan terus memacu diri meningkatkan kualitas spiritual, dengan mengikuti berbagai pelatihan kepemangkuan, cara belajar melalui nabe, lontar, maupun buku-buku agama. Hal itu dilakukan untuk menyiapkan diri untuk malinggih ngetut pemargin Ida Bhatara Kawitan.
Namun keinginn dan niat sucinya sempat terhenti, sebab belum sempat Ida Pandita di tapak, Ida Nabe keburu Amor Ring Acintya. Namun, tak membuat pupus harapannya. Ida Pandita memutuskan melanjutkan menabe (berguru) di Griya Suka Asti, Bakung, Sukasada, Buleleng. Kemudian setelah dirasa siap secara lahir-bhatin, akhirnya pada tahun 2000, Ida Pandita memutuskan untuk melaksanakan upacara pawintenan tingkat dwijati/madiksha. Tugas dan tanggung jawab sebagai seorang sulinggih sangat berat dan kompleks.