Lantas, bagaimana perjalanan beliau dari walaka hingga madiksa menjadi Pedanda? Perjalanan Wartawan Bali Aga tidak sulit menemukan Griya Gede Manuaba yang berada jauh dari Kota Denpasar. Tepatnya di Banjar Pemijian, Carangsari, Petang, Badung. Sampai di griya, tampak gapura griya begitu megah. Ditemukan dua pintu gerbang yang cukup anggun, satu gapura untuk griya dan satunya lagi pintu gerbang untuk merajan.
Masuk ke dalam griya, suasana sangat asri, terlihat bangunan cukup megah juga untuk ukuran griya. Pepohonan yang rindang, tanaman hias tampak memberikan kesan yang sejuk. Terlihat Peranda cukup sibuk melayani umat yang tangkil. Padahal suasananya masih pagi.
BA menunggu di luar/di jaba griya karena Ida masih sibuk. Begitu suara genta berhenti, BA masuk dengan langkah pelan tapi pasti. Ida Peranda sudah duduk tenang, sementara umat yang jumlahnya puluhan orang dilayani Peranda Istri.
Begitu Ida ngaksi (melihat-red) Wartawan Bali Aga, dengan ramahnya Ida Pedanda mengucap
Begitu juga, wawasan Peranda kelahiran tahun 1946 ini luas sekali. Karena sudah mantap malinggih dengan belajar lebih awal. Apalagi Peranda yang madiksa tahun 2003 ini pernah menjadi guru bahasa Inggris, bekerja di hotel, akhirnya jodoh menjadi PNS di Kanwil Agama
Apalagi dengan berbagai wawasan agama, bahasa Inggris lumayan untuk belajar Weda berbahsa Inggris. Buku Weda dengan bahasa Inggris yang tebal pun menjadi bahan bacaan Peranda setiaphari. Semakin lengkaplah secara ilmu yang diperoleh Peranda, baik sejak walaka maupun setelah malinggih. Lebih-lebih Peranda sering berkomunikasi dengan orang Barat berbicara masalah agama Hindu dalam bahasa Inggris.
Tapi, dalam perjalanan hidup Peranda banyak mengalami kode alam, baik semasih walaka maupun setelah menjadi Peranda. “Sejak walaka, tiang sering didatangi kode alam, tapi kode alam itu sama sekali tiang tidak pahami apa maknanya,” tutur Peranda yang ramah ini.
Kode alam yang pertama terjadi di Mertasari, Sanur, Peranda mengalami keunikan menemukan mata air yang berpindah-pindah. Hanya Peranda yang berhasil menemukannya. Sampai sekarang masih segar dalam ingatan Peranda. Begitu juga setelah malinggih, berbagai kode alam menghampiri Peranda. Uniknya ketika muput karya agung bertiga di Sekar Mukti, Kupu-kupu berwarna coklat menghampiri Peranda, seraya hinggap di sasirat saat muput, dan kupu-kupu menghisap bunga kamboja yang berada di tangan Peranda.
“Tiang heran, kenapa kupu-kupu itu datang pada diri tiang saja, bahkan kupu-kupu tersebut mengisap sari bunga kamboja,” tutur Peranda dengan heran. Di samping itu, juga pernah terjadi sesuatu yang unik di dalam diri Peranda. Anehnya. Bukan Peranda yang melihatnya, melainkan masyarakat sendiri. Keanehan tersebut adalah ngerehan dalam diri.
“Tiang sama sekali tidak merasakan, justru masyakat atau orang lain yang memberitahu diri Peranda terjadi ngerehan,” ungkap Peranda dengan setengah tidak percaya atas kejadian yang aneh tersebut. Mungkin masih banyak keanehan yang dialami Peranda, bahkan masih ada kejadian atau kode alam yang tidak bisa diungkap, namun masih tertulis dalam buku memori Pernda.
“Peranda berpikir ada apa gerangan perjalanan Peranda, apakah Tuhan telah menginjinkan menjadi seorang sulinggih, atau hal lain yang memberikan makna perjalanan ini,” tanya Peranda dalam hati.