Ida Pandita Mpu Wiswa Rupa Bhiru Dhaksa

Sesungguhnya pendeta adalah pelayan umat yang tidak harus disanjung dan disembah. Sulinggih memiliki sifat seperti pasir yang menyerap air, apakah air tersebut kotor atau bersih, semuanya terserap. Namun pada akhirnya yang akan keluar adalah air yang bersih saja. Itulah inti seorang sulinggih yang bisa menyerap ilmu apapun, dan kemudian dipilah-pilah dan hanya yang baik yang dipakai. Kedatangan TBA menyasar daerah Buduk, sampailah di depan sebuah rumah yang bertuliskan Griya Agung Adhika Sari. Inilah Griya Ida Pandita Mpu Wiswa Rupa Bhiru Dhaksa dengan nama walaka I Gede Biakta.Pertama masuk terlihat suasana ramai di mana ibu-ibu sibuk dengan kegiatannya membuat banten. Sambutan hangat menyertai, dan kedatangan itu tepat dengan surya sewana yang merupakan rutinitas seorang sulinggih di pagi hari. Sambil menunggu sejenak di saren kajaterdengar suara burung menambah heningnya suasana griya. Tumpukan buku-buku di samping tempat duduk seakan menceritakan bahwa Ida Pandita gemar membaca.

Selang beberapa lama puja Ida Pandita usai dan terjadilah perbincangan parindikan Ida Pandita.

Masa kecilnya dijalani seperti biasa layaknya anak kecil pada umumnya. Masa sekolah menjadi masa menuntut ilmu baginya di mana kegemarannya dalam bidang bangunan mengantarkannya bersekolah di STM Bangunan Negeri Denpasar. Setelah menamatkan pendidikan, pekerjaan pun diraih.

“Sambil bekerja sekitar tahun 1976 tiang menjadi pragina yang belajar secara otodidak. Di sini memang keturunan pragina. Kemudian berkembang tahun 1987 mulai menjadi dalang. Dari dalang inilah kemudian meningkat nopeng,” jelas Ida Pandita.

Barulah tahun 2002 keinginannya untuk mendalami ajaran spiritual tumbuh dengan sendirinya. Kemudian berlanjut munggah menjadi bhawati tahun 2005. Semua dijalani secara bertahap hingga munggah menjadi Sri Empu pada bulan April 2006 bertepatan dengan Purnama Kadasa.

“Kita sadar dengan ajaran Catur Asrama, selama hidup menjadi yogi bagaimana caranya supaya dalam hidup menjalankan ajaran agama. Dengan malinggih merupakan penebusan dosa, dengan penyucian diri setiap hari. Selain itu dapat meningkatkan pengetahuan, sebab ada ilmu yang tidak bisa dipelajari sebelum malinggih di sana. Dan yang paling penting adalah mengabdikan diri pada umat dengan memberikan pelayanan dalam bidang spiritual,” ungkapnya.

Menurutnya, sesungguhnya pendeta adalah pelayan umat yang tidak harus disanjung dan disembah. Sulinggih memiliki sifat seperti pasir yang menyerap air, apakah air tersebut kotor atau bersih, semuanya diserap. Namun pada akhirnya yang akan keluar adalah air yang bersih saja. Itulah inti seorang sulinggih yang bisa menyerap ilmu apapaun, dan kemudian dipilah-pilah dan dipakai yang baik. (sadnyari). . . …………………Baca Edisi 32