“Sebelum melinggih, tiang bergabung di Angkatan Laut. Selama menjalankan tugas, manis pahitnya kehidupan pernah tiang rasakan. Terutama saat bertugas di daerah konflik. Antara hidup dan mati, tak ada jurang pemisah tiang rasakan,” ujar ayah
Pedanda yang dikenal ramah ini lebih lanjut mengatakan, banyak hikmah yang bisa didapat selama bergabung di Angkatan Laut. Selain banyak pengalaman, juga dididik selalu berjalan di atas keberanian serta selalu disiplin baik waktu maupun hal-hal lain dalam berbagai hal. Cara itu kemudian diterapkan untuk mendidik anak-anaknya. Dengan cara itu, lanjut Ida Peranda, kini anak-anaknya mampu berdiri sendiri dan sukses.
“Tiang tidak bisa membekali anak-anak dengan harta benda, tetapi hanya ilmu yang bisa tiang bekali. Syukurlah sebelum pensiun, anak-anak berhasil menyelesaikan pendidikan di universitas, sehingga memiliki bekal untuk mencari kerja,” jelas Peranda didampingi Ida Peranda Istri Agung Rai yang saat walaka bernama Anak Agung Rai Murtini. Kesejahteraan anggota TNI pada waktu itu tidak seperti sekarang. Semua hidup dengan ekonomi serba pas-pasan, gaji hanya cukup 15 hari. Sehingga tak jarang gali lubang tutup lubang. Beruntung istri pintar mengatur, sehingga anak-anak bisa mengenyam pendidikan sampai di perguruan tinggi.
Lebih lanjut Ida Peranda mengungkapkan, selama bertugas tak pernah tergiur mengambil pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Melainkan Peranda sering membantu orang-orang yang sedang kesusahan dengan tulus, tanpa pernah mengharapkan imbalan. Mungkin karena sering membantu dengan tulus-ikhlas, Peranda mengaku sering mendapat rezeki tak terduga, terutama pada saat membutuhkan.
“Karakter tiang memang keras dan tegas. Namun semua itu demi kebaikan dan kemajuan, sehingga selalu siap menghadapi berbagai pantangan dan tantangn hidup. Karakter tersebut tak lepas dari gemblengan selama bergabung di Angkatan Laut.,” kata Peranda berbadan agak subur ini menegaskan.
Kemudian tekad kerasnya ingin mengikuti jejak leluhurnya menjadi seorang sulinggih, permohonan untuk pensiun sempat ditolak hingga tiga kali oleh atasannya. Kemuduan setelah pensiun Peranda mulai melakukan pembelajaran di bidang agama, kepemangkuan, upacara dan lainnya dengan menjadi pengiring Ida Gde Ngurah, di Griya Ujung, Kesiman, Denpasar.
Dalam kurun waktu 11 tahun itu, selain menjadi pengiring juga sering mengikuti pelatihan kepemangkuan dan bebantenan. Selain itu, untuk mendukung profesinya Peranda mengoleksi berbagai macam buku dan lontar yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan keagamaan serta bebantenan.
Merasa sudah siap malinggih, akhirnya Peranda dengan segala kemampuan yang ada memutuskan malinggih pada tanggal 4 Agustus 2005. “Saat itu tiang disport dan didukung oleh Puri Agung Pemecutan, sehingga setiap ada kegiatan tiang selalu ngayah di Puri,” ujar Peranda dengan nada datar.(andiawan).............................Baca Edisi 31