Madiksa atas Kehendak Niskala
Sekarang, nama walaka sudah dilepas setelah ditapak oleh seorang nabe dari Griya Agung Klaci, Marga, Tabanan mabhiseka Pandita Mpu Daksa Samyoga. Semenjak tahun 2001, setelah digelar pawintenan trijati, sulinggih berpenampilan sederhana menyandang bhiseka Ida Pandita Mpu Sadi Angga Yoga. Lalu, bagaimana kisah perjalanan sulinggih yang mengaku sebagai petani selama walaka? Berikut kisahnya di dalam obrolan santai dengan BALI AGA di Griya Sading, Banjar Kukuh Kangin, Kerambitan, Tabanan.
“Tiang wantah pengalaman wit saking pamangku, dumun tiang petani. Sakewala, tan wenten kleteg jagi malinggih,” kata Pandita Mpu mengawali ceritanya. Dikatakan Pandita yang lama menjadi pamangku ini, memang menurut sastra setiap orang wajib menyucikan diri. Tapi, yang namanya wiku tidaklah gampang disandangnya. Perlu kesiapan lahir dan bathin. Apalagi Pandita Mpu satu putri ini mengaku tidak ada niat apalagi pengalaman kurang.
“Begitu juga pergaulan, sejak awal hanya sebagai pamangku di Pura Siwa Sading sejak tahun 1973. Hanya ini bekal satu-satunya untuk bisa menjadi sulinggih, ditambah tugas untuk muput pitra yadnya,” urai Pandita dengan penampilan lugu. Begitu juga perjalanan muput yadnya dijalani mulai tahun 1978, selanjutnya mawinten Jro Gede pada tahun 1993 sampai tahun 2001.
Tetapi, tandas Pandita yang mengaku pernah bekerja di Beringkit sebagai penjaga selama satu tahun, justru ada keanehan selama mencari nabe. Di dalam mencari nabe, banyak kendala. Awalnya, tutur sulinggih tamatan SR ini, ingin bernabe kepada seorang soroh ida bagus. Anehnya, selalu gagal. Setiap ida bagus yang dijadikan nabe (guru kerohanian-red) selalu meninggal. Perjalanan bernabe ini cukup lama.
Dengan kendala ini, diputuskan mencari nabe dari pasek saja,. akhirnya diambil keputusan kleteg kayun (keneh) ke Griya Agung Klaci ring Ida Pandita Mpu Daksa Samyoga.
“Yan tan iwang baan tiang narka, wenten matemu ring nabe salami seket (50 kali). Akhirnya Nabe memberikan keputusan untuk madiksa saja,” kenang sulinggih bertubuh mungil ini dengan santun. Saat itulah Pandita Mpu yang istrinya Ida Pandita Mpu IstriTirta lebar tahun 2006, ada niat untuk menolak. Tawaran ini diberi waktu selama tiga tahun.
Hanya saja, tutur Pandita Mpu yang tinggal di Griya Sading, Kukuh, Kerambitan, Tabanan ini, niat untuk menolak ini tidak bisa berjalan mulus.
“Tiang sering sungkan tan keni antuk, punapi mawinan. Kadirasa tan anut ring pangrasa, jeg sungkane tan pegat-pegat,” cerita Pandita dengan logat bahasa
Pandita Mpu kelahiran tahun 1941 bercerita panjang kenapa mau malinggih sebagai madeg pandita. Perjalanan menjadi sulinggih pertama kaadegan sebagai pamangku, alasan lain karena beberapa kali kesakitan, kalau tidak salah sebanyak 4 kali. Jatuh karena kaseleo, sakit aneh beberapa kali dicarikan mantri kesehatan tak pernah sembuh. Akhirnya dicari jalan lain, dan sempat maluasan.
Semenjak malinggih, suasana di griya sedikit tenang. Selama malinggih, ada saja umat datang ke griya dengan berbagai tujuan.