Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda

Sulinggih Rendah Hati Sarat Prestasi

Jalan hidup sulinggih yang satu ini, boleh dikatakan gemilang dalam prestasi, walaupun mengaku minim kualitas pendidika secara formal, dan tidak tamat SD. Tapi pendidikan formal yang tinggi tidak menjamin seseorang menggapai prestasi yang menonjol. Tapi sulinggih asal Buleleng ini ternyata gigih, rajin, tekun sehingga patut menjadi sosok teladan bahkan menjadi seorang guru dari orang yang bertitel. Berikut kisah Ida Pandita

Pendidikan formal yang minim, tak sepenuhnya menjadi kendala untuk memacu dan mengembangkan potensi diri. Seperti halnya Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda. Walaupun hanya sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, itupun tidak sampai tamat. Selain dikenal ahli menulis lontar, juga dikenal sebagai dukun usadha. Berbagai prestasi gemilang berupa piagam penghargaan pernah diraihnya, Apa yang menjadikan Ida Pandita Nabe mampu mengukir berbagai prestasi itu? Inilah hasil penelusuran wartawan TBA.

Saat wartawan Bali Aga bertandang ke griya yang berlokasi di Banjar Wiguna, Desa Pelapuan, Busungbiu, Buleleng, nampak pria paruh baya sedang serius dengan aktivitasnya. Di setiap sudut dihiasi pot bunga berbagai jenis dan ukuran, sehingga mampu mempercantik griyanya.

Suara kicauan beberapa jenis burung yang tergantung rapi, menambah suasana semakin nyaman, sehingga rasanya ingin berlama-lama berada di sini. Mengetahui kami datang, serta merta Ida Pandita Mpu Nabe menghentikan aktivitasnya. Dengan senyum dan gaya bicaranya yang khas, Ida Pandita mulai bercerita.

Tiang terlahir dari keluarga petani dengan ekonomi yang serba pas-pasan. Karenanya, tiang hanya sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar dan itupun nungkak (tidak sampai tamat-red),” ujarnya seraya menunjukkan foto-foto kenangannya saat walaka.

Latar belakang pendidikan yang sangat rendah, tak membuat sosok Ida Pandita Nabe minder, bahkan membuat harapannya pupus untuk belajar. Melainkan membuat semangatnya semakin berapi-api dan lebih giat menempa diri. “Walaupun hanya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, tak membuat tiang minder, namun memacu semangat lebih tekun belajar. Bahkan, sambil bekerja tiang sempatkan membawa buku, dan merapal apa yang sebelumnya tiang dapatkan,”jelas Ida Pandita Mapu Nabe dengan nada datar.

Berbekal pendidikan yang sangat minim, ternyata tak menjadi kendala bagi Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda yang bernama walaka I Wayan Nastra, untuk menggali dan mengembangkan potensi dalam dirinya. Berbekal pendidikan Sekolah Dasar dan itupun tidak sampai tamat, Ida Pandita Mpu Nabe, dengan semangat dan dedikasi tinggi terus berusaha menggali dan mengembangkn potensi yang dimiliki. Semangat, dan kerja keras, selama ini, ternyata tidak sia-sia. Berbagai piagam pernah diraihnya, baik dari pemerintah daerah hingga dari presiden Republik Indonesia di bidang Keluarga Berencana dan penghargaan lainnya.

Bahkan, tak sedikit yang bertitel sarjana belajar kepadanya. Ida Pandita Nabe juga sempat diekspos salah satu media, tentang keahliannya dalam menulis lontar. Semangat dan kerja kerasnya patut diacungi jempol serta dijadikan contoh. Semua itu tak lepas dari peran orang tuanya yang seorang guru yoga, serta penulis lontar cukup tersohor dan banyak memiliki murid.

“Ketegasan dan kedisiplinan orangtua, tiang jadikan pemacu lebih giat belajar. Berbagai ilmu tiang pelajari termasuk membaca dan menulis lontar. Banyak lontar telah tiang salin ke hurup latin. Bahkan, banyak yang belajar bahasa Bali di sini,” jelas suami I Nengah Sukanami yang kini mabisekha Ida Pandita Mpu Istri Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda serius.

Di samping itu, Ida Pandita yang dikenal ramah ini, juga memiliki kartu anggota pedalangan PDSI (Persatuan Dalang Seluruh Indonesia). Sepak terjang dan semangatnya itu, sering dijadikan panutan atau contoh masyarakat sekitar dan krama luar yang sering tangkil ke griya. Ida Pandita Mpu Nabe juga sering dimohon membuat awig-awig desa dalam bentuk lontar berbahasa Bali, dan menyalin lontar ke dalam bahasa latin.

Setelah orangtuanya meninggal, kemudian Ida Pandita Nabe harus meneruskan semua profesi ayahnya yang seorang guru yoga, balian usadha, dan pemangku. Beliau sering muput upacara Panca Yadnya. Maklum saat itu sulinggih sangat sedikit.

“Setelah orangtua meninggal, banyak krama datang dengan berbagai tujuan, dan sempat mengelak. Karena merasa tidak memiliki kemampuan dalam bidang itu. Namun akhirnya tiang sadar bahwa tugas tersebut harus dipikul dan dijalankan,” tegasnya.

Lebih lanjut ayah lima orang putra ini mengatakan, setelah dijalani, rasa khawatir itu sirna dan semua berjalan seperti air. Berbekal keyakinan dan keberanian, orang yang ditolong banyak yang sembuh, padahal hanya menggunakan Gayatari Mantra.

Guna meningkatkan pengetahuannya Ida Pandita memutuskan aguron-guron, (belajar-red) tepatnya di Griya Penarukan, Buleleng. Yang saat itu digembleng oleh Ida Pandita Mpu Nabe Dwi Tantra (almr), mulai dari tingkat Jro Mangku, Jro Gede, dan Jro Bawati.

Niatnya malinggih selalu gagal. Salah satu kendalanya, melihat kemampuan yang dimiliki, gurunya berkeinginan menjadikan Ida Pandita menjadi seorang Dalang Brahmana. Karena saking baktinya, permintaan itu pun dijalankannya dan berhasil dengan baik. Belum selesai tugas itu, ternyata Tuhan berkehendak lain dan Sang Nabe keburu dipanggil (amor ring acintya). Kemudian setelah Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun dari Griya Agung Bongkasa Badung, mengetahui kemampuannya, mendesak agar segera melinggih. Akhirnya pada tahun 2001, Ida Pandita membulatkan tekad melinggih dan ditapak oleh Ida Pandita Mpu Nabe Istri Made didampingi Ida Pandita Mpu Nabe Sinuhun. Dengan Bhiseka Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Dwi Putra Brahmanda.

Setelah melinggih, Ida Pandita tetap melaksanakan profesi sebagai dalang, penulis lontar dan ngemargiang tetambaan. Ida Pandita merupakan satu-satunya Dalang Brahmana di Buleleng. Namun demikian, Ida Pandita selalu melewatkan sisa hidupnya dengan penuh kesederhanaan. Andiawan